Sunday, September 18, 2011

Pengaturan Suhu Ikan Tuna Kunci Sukses Ekspor




BOGOR, (PRLM).- Setting suhu yang kurang tepat pada ikan tuna yang akan diekspor oleh Indonesia menyebabkan standar mutu ikan tuna hasil nelayan kita sering mendapat penolakan dari berbagai negara importir. Pasalnya, setting suhu yang kurang tepat menyebabkan kandungan histamin dalam ikan tuna melebihi ambang batas dan bisa menyebabkan keracunan.
Hal ini diungkapkan mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) IPB, Sherly Gustia Ningsih yang melakukan penelitian bersama dengan Minal Fitrani dan Ibnu Affiano tentang "Setting Suhu pada Ikan Tuna untuk Menghindari Histamin" yang dibimbing oleh dosen pendamping Ir. Wini Trilaksani, M.Sc., Rabu (3/8).
Dikatakan Sherly, hasil penelitian tentang kadar histamin berdasarkan pada pengelompokan bagian tubuh ikan menunjukkan bahwa bagian perut ikan memiliki kadar histamin yang paling tinggi dibandingkan dengan bagian depan dan ekor pada setiap perlakuan suhu penyimpanan. Hal ini dikarenakan bagian perut ikan merupakan sumber mikroba pembusuk pada ikan.
Pengaruh berbagai suhu setting penanganan terhadap histamin ikan tuna dan bakteri pembentuknya, lanjut Sherly menunjukkan suhu 0-1 derajat Celsius dan 4 derajat Celsius tergolong sebagai suhu yang optimal untuk mempertahankan kesegaran ikan tuna dari berbagai parameter analisis.
Penelitian tersebut diharapkan memberikan kontribusi dalam peningkatan ekspor tuna Indonesia dengan penurunan kadar histamin dalam tubuh tuna. "Ke depan perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan penambahan perlakuan lama waktu penyimpanan, sehingga didapatkan data yang dapat menggambarkan perubahan mutu ikan tuna dalam masa penyimpanan dan saat transportasi berlangsung," ujar Sherly.
Lebih lanjut disampaikan Sherly, penelitian ini didasari pada kenyataan bahwa ikan tuna (Thunnus sp.) termasuk salah satu primadona ekspor Indonesia. Hanya saja, beberapa tahun terakhir perdagangan ikan tuna Indonesia ke sejumlah negara mengalami kendala penolakan oleh negara importir. "Sebagian besar karena standar mutu yang tidak terpenuhi, yakni kadar histamin yang melebihi ambang batas," kata Sherly.
Lebih lanjut dikatakan Sherly, berdasarkan laporan Food and Drugs Administration Amerika Serikat (US-FDA), terdapat 7 kasus pada tahun 2007 dan 13 kasus pada tahun 2008 terkait penolakan tuna Indonesia. "Trennya yang naik dari tahun ke tahun membuat kami khawatir, jika terus dibiarkan potensi kita tidak bisa dimanfaatkan dengan baik hanya karena kadar histamin yang melebihi ambang batas keamanan pangan," ujarnya.
Berdasarkan catatan Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa pada tahun 2007 ada sebanyak 22 kasus impor tuna Indonesia yang mengandung histamin melebihi batas keamanan pangan. Bahkan, bahkan Indonesia sempat mengalami ancaman embargo pada tahun 2005. Histamin merupakan komponen amin biogenik yaitu bahan aktif yang diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging merah, keju dan makanan fermentasi.
Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk penyimpanan dan penanganan yang salah.
Kadar maksimal histamin yang ditetapkan oleh US-FDA adalah 50 ppm, sedangkan European Comission (EC) menetapkan kadar histamin tidak lebih dari 100 ppm. Pembentukan histamin dalam tubuh ikan dapat terjadi akibat adanya enzim yang terdapat secara alami dalam jaringan ikan, pembentukan berlangsung selama proses autolisis.
Pada kondisi optimum jumlah maksimum histamin yang dapat diproduksi melalui proses autolisis tidak dapat melebihi 10–15 mg/100 gram daging ikan. Pembentukan histamin berbeda untuk setiap spesies ikan, hal ini tergantung pada kandungan histidin.
"Setelah ikan mati, sistem pertahanan tubuhnya tidak bisa lagi melindungi dari serangan bakteri, dan bakteri pembentuk histamin mulai tumbuh dan memproduksi enzim dekarboksilase yang akan menyerang histidin dan asam amino bebas lainnya menjadi histamin yang mempunyai karakter lebih bersifat alkali," ungkap Sherly menambahkan.
Histamin, lanjut Sherly umumnya dibentuk pada temperatur tinggi, yakni lebih dari 20 derajat celcius. Pendinginan dan pembekuan yang cepat, segera setelah ikan mati merupakan tindakan yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan scombrotoxin (histamin).
Histamin tidak akan terbentuk bila ikan selalu disimpan dibawah suhu 5 derajat Celsius. Keracunan histamin biasanya diawali dengan gejala sakit kepala, kejang, mual, wajah dan leher kemerah-merahan, tubuh gatal-gatal, mulut dan kerongkongan terasa terbakar, bibir membengkak, badan lemas dan muntah-muntah. (A-155/A-88)***

sumber : pikiran rakyat

2 komentar:

wah asyik juga mempelajari hal baru seperti ini.
kalau sampai mengandung racun, tentu berbahaya banget.
TFS :)

iya mbak,,kebetulan ini riset yang saya lakukan jg,,agak narsis sedikit,,hehee,,,,
kalau kandungan racun yang tinggi bisa mengakibatkan bahaya mulai dari algeri hingga kematian,,

salam kenal mbak,,

terima kasih sudah mampir..

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites